Pada suatu masa, berkebulatan teguh Orang-Orang Besar Rawa pergi ke Pagar Ruyung Minangkabau mengambil Raja, maka dibagi orang Pagar Ruyung Minangkabau seorang yang cantik paras rupanya, maka di bawalah pulang ke Rawa.
Sampai di Rawa, disembah ia pun sakit lalu mati. Kemudian dijemput lagi sekali, sampai di Rawa disembah ia pun sakit lalu mati juga. Oleh itu, berdukacitalah Orang-Orang Besar Rawa dengan menaruh ingatan yang mana kepada Raja-Raja Pagar Ruyung itu.
Pada suatu hari, muafakatlah Orang-Orang Besar di dalam Rawa memilih orang-orang yang handal lagi perkasa, serta dengan alat angkatan yang beradat, menjemput Orang-Orang Besar Bergelar pergi ke Pagar Ruyung Minangkabau.
Adalah perintah Orang-Orang Besar Rawa kepada utusan itu, “Sekali ini, jika tiada diberinya yang sebetulnya, jangan balik sehingga kita perangi Minangkabau itu”. Demikianlah perintah Orang-Orang Besar Rawa kepada utusan itu.
Maka apabila sampai utusan itu ke Minangkabau, dengan tidak semena-mena bertemu dengan seorang tua, hendak dikatakan tua, tersangat tua, maka bertanyalah orang tua itu kepada utusan itu, “Hendak kemana tuan-tuan ini”, maka diceritakanlah oleh utusan itu kepada orang tua itu daripada mula hingga akhirnya.
Maka kata orang tua itu, “Jika diberinya yang cantik-cantik pakaian, jangan diambil, minta sendiri memilihnya serta tunjuk tengok kepadanya tanda-tandanya, dan adapun anak Raja Pagar Ruyung itu, perempuan seorang sahaja dalam istana itu, buruk lokos sahaja pakaian nya, ambillah itu”.
Maka apabila sampai ke Istana Pagar Ruyung, berkatalah utusan itu, “Minta kami-kami sendiri yang datang ini hendak memilihnya, sebab sudah dua kali, kami-kami ini mendapat tidak yang sebetulnya”.
Ialah dengan pandai pujuk rayu utusan itu, dibenarkanlah utusan itu memilihnya, dengan sebab tanda-tanda yang diberi oleh orang tua yang dijumpa di jalan itu, dapatlah utusan itu memilih yang sebetulnya.
Maka apabila terkena pilih yang sebetulnya itu, ratap tangis pun menderulah, maka pada masa itu, diminta utusan itu satu persumpahan setia yang besar lagi beradat, “Sampai ke anak-anak cucu cicit, tiada boleh sekali-kali balik ke Istana Pagar Ruyung”.
Maka sudahlah dengan takdir Allah, sehingga hilang akal budi-bicara Raja-Raja Yang Tua-Tua itu, sehingga diikutnya permintaan utusan itu.
Maka sebab itu, yang mana-mana keturunan daripada itu, tiada boleh menempuh ke Istana Pagar Ruyung. Jika siapa-siapa keturunan Raja Pagar Ruyung sampai ke Minangkabau, jangan sekali-kali pergi ke Istana Pagar Ruyung, melainkan dengan adat sembah sambutnya, begitulah pesan nenda-nenda kita yang terdahulu.
Apabila dibawa ke Rawa, sampai di Kota Raja disambut dijulang, dinobat disembah oleh orang-orang Kota Raja, serta dibuat adat-istiadat Raja-Raja menyambut Raja.
Bermulanya Kota Raja itu, dinamakan orang Kuda Raja, kemudian dialih diubah namanya Kota Raja.
Shahadan, apabila sampai di Rawa, tiadalah dapat jodohnya akan suaminya, maka disuruh pula utusan pergi mencari ke Pagar Ruyung Minangkabau.
Didalam mencari itu, tidak semena-mena datang sahaja seorang Raja menunggang kuda ke Rawa.
Maka disiasat diperiksa secukup-cukupnya oleh Orang-Orang Besar didalam Rawa, dapatlah keterangannya yang sebetulnya, ia anak Raja keturunan Sang Seperba daripada Negeri Semuara, anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain dan Raja Nisrawan Adil Bukit Seguntang, lalu dikahwinkan dengan anak Raja Pagar Ruyung itu.
Setelah sekeliannya, balik utusan yang mencari akan jodoh anak Raja Pagar Ruyung itu, dengan membawa seorang anak Raja, lalu dikahwinkan dengan orang lain.
Maka turun-temurun keturunan inilah yang dibagi pangkat gelaran oleh Orang-Orang Besar Rawa, gelaran Raja Perempuan memegang adat kebesaran sekeliannya didalam Istana Padang Unang Rawa itu, dan anak Raja yang diambil dari Pagar Ruyung itu, dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Rawa, dan turun-temurun keturunan inilah sampai sekarang menjadi Yang Dipertuan Besar Rawa itu.
Shahadan, adalah Raja yang asal didalam Rawa itu Raja Daulat Parit Batu, keturunan daripada Raja Pagar Ruyung Minangkabau juga adanya.
Pecahan Raja Daulat Parit Batu itu turun ke Rawa duduk di Gobar, bergelar Yamtuan Gobar di Rawa. Pecahan daripada Yamtuan Gobar itu pergi ke kampung bernama Kubu Sultan, dipanggil-panggil orang, anak Raja-Raja Yang Berempat.
Dari situlah anak Raja-Raja Rawa yang asal itu berselok menyeloknya dan semenda menyemendanya ke Padang Unang kepada pihak Yang Dipertuan Besar itu.
Alkisah, sebab orang-orang Rawa tidak mahu menjadikan Raja, Yamtuan pecahan Raja Daulat Parit Batu itu, kerana Orang-Orang Besar Rawa bersinggit dengan Orang-Orang Besar Parit Batu.
Sebab itulah, Orang-Orang Besar Rawa mengambil Raja mereka dari Pagar Ruyung, betul akan halnya Raja Daulat Parit Batu itu kemanakan daripada Raja Pagar Ruyung.
Sebab itu didalam perbilangan Rawa, “Daulat di Parit Batu, Sultan di Pagar Ruyung, Yamtuan di Rawa, Sangkar adat dari dalam Rawa”.
Petikan dari Catatan Yang Disimpan olehAlmarhum Raja Bot ibni Raja Amirullah
Silsilah Jang DiPertoean Pagaroejoeng
Almarhum Radja Bogomo, Jang DiPertoean Pagaroejoeng; Almarhum Raja Bot ibni Raja Amirullah
Sampai di Rawa, disembah ia pun sakit lalu mati. Kemudian dijemput lagi sekali, sampai di Rawa disembah ia pun sakit lalu mati juga. Oleh itu, berdukacitalah Orang-Orang Besar Rawa dengan menaruh ingatan yang mana kepada Raja-Raja Pagar Ruyung itu.
Pada suatu hari, muafakatlah Orang-Orang Besar di dalam Rawa memilih orang-orang yang handal lagi perkasa, serta dengan alat angkatan yang beradat, menjemput Orang-Orang Besar Bergelar pergi ke Pagar Ruyung Minangkabau.
Adalah perintah Orang-Orang Besar Rawa kepada utusan itu, “Sekali ini, jika tiada diberinya yang sebetulnya, jangan balik sehingga kita perangi Minangkabau itu”. Demikianlah perintah Orang-Orang Besar Rawa kepada utusan itu.
Maka apabila sampai utusan itu ke Minangkabau, dengan tidak semena-mena bertemu dengan seorang tua, hendak dikatakan tua, tersangat tua, maka bertanyalah orang tua itu kepada utusan itu, “Hendak kemana tuan-tuan ini”, maka diceritakanlah oleh utusan itu kepada orang tua itu daripada mula hingga akhirnya.
Maka kata orang tua itu, “Jika diberinya yang cantik-cantik pakaian, jangan diambil, minta sendiri memilihnya serta tunjuk tengok kepadanya tanda-tandanya, dan adapun anak Raja Pagar Ruyung itu, perempuan seorang sahaja dalam istana itu, buruk lokos sahaja pakaian nya, ambillah itu”.
Maka apabila sampai ke Istana Pagar Ruyung, berkatalah utusan itu, “Minta kami-kami sendiri yang datang ini hendak memilihnya, sebab sudah dua kali, kami-kami ini mendapat tidak yang sebetulnya”.
Ialah dengan pandai pujuk rayu utusan itu, dibenarkanlah utusan itu memilihnya, dengan sebab tanda-tanda yang diberi oleh orang tua yang dijumpa di jalan itu, dapatlah utusan itu memilih yang sebetulnya.
Maka apabila terkena pilih yang sebetulnya itu, ratap tangis pun menderulah, maka pada masa itu, diminta utusan itu satu persumpahan setia yang besar lagi beradat, “Sampai ke anak-anak cucu cicit, tiada boleh sekali-kali balik ke Istana Pagar Ruyung”.
Maka sudahlah dengan takdir Allah, sehingga hilang akal budi-bicara Raja-Raja Yang Tua-Tua itu, sehingga diikutnya permintaan utusan itu.
Maka sebab itu, yang mana-mana keturunan daripada itu, tiada boleh menempuh ke Istana Pagar Ruyung. Jika siapa-siapa keturunan Raja Pagar Ruyung sampai ke Minangkabau, jangan sekali-kali pergi ke Istana Pagar Ruyung, melainkan dengan adat sembah sambutnya, begitulah pesan nenda-nenda kita yang terdahulu.
Apabila dibawa ke Rawa, sampai di Kota Raja disambut dijulang, dinobat disembah oleh orang-orang Kota Raja, serta dibuat adat-istiadat Raja-Raja menyambut Raja.
Bermulanya Kota Raja itu, dinamakan orang Kuda Raja, kemudian dialih diubah namanya Kota Raja.
Shahadan, apabila sampai di Rawa, tiadalah dapat jodohnya akan suaminya, maka disuruh pula utusan pergi mencari ke Pagar Ruyung Minangkabau.
Didalam mencari itu, tidak semena-mena datang sahaja seorang Raja menunggang kuda ke Rawa.
Maka disiasat diperiksa secukup-cukupnya oleh Orang-Orang Besar didalam Rawa, dapatlah keterangannya yang sebetulnya, ia anak Raja keturunan Sang Seperba daripada Negeri Semuara, anak cucu Raja Iskandar Zulkarnain dan Raja Nisrawan Adil Bukit Seguntang, lalu dikahwinkan dengan anak Raja Pagar Ruyung itu.
Setelah sekeliannya, balik utusan yang mencari akan jodoh anak Raja Pagar Ruyung itu, dengan membawa seorang anak Raja, lalu dikahwinkan dengan orang lain.
Maka turun-temurun keturunan inilah yang dibagi pangkat gelaran oleh Orang-Orang Besar Rawa, gelaran Raja Perempuan memegang adat kebesaran sekeliannya didalam Istana Padang Unang Rawa itu, dan anak Raja yang diambil dari Pagar Ruyung itu, dilantik menjadi Yang Dipertuan Besar Rawa, dan turun-temurun keturunan inilah sampai sekarang menjadi Yang Dipertuan Besar Rawa itu.
Shahadan, adalah Raja yang asal didalam Rawa itu Raja Daulat Parit Batu, keturunan daripada Raja Pagar Ruyung Minangkabau juga adanya.
Pecahan Raja Daulat Parit Batu itu turun ke Rawa duduk di Gobar, bergelar Yamtuan Gobar di Rawa. Pecahan daripada Yamtuan Gobar itu pergi ke kampung bernama Kubu Sultan, dipanggil-panggil orang, anak Raja-Raja Yang Berempat.
Dari situlah anak Raja-Raja Rawa yang asal itu berselok menyeloknya dan semenda menyemendanya ke Padang Unang kepada pihak Yang Dipertuan Besar itu.
Alkisah, sebab orang-orang Rawa tidak mahu menjadikan Raja, Yamtuan pecahan Raja Daulat Parit Batu itu, kerana Orang-Orang Besar Rawa bersinggit dengan Orang-Orang Besar Parit Batu.
Sebab itulah, Orang-Orang Besar Rawa mengambil Raja mereka dari Pagar Ruyung, betul akan halnya Raja Daulat Parit Batu itu kemanakan daripada Raja Pagar Ruyung.
Sebab itu didalam perbilangan Rawa, “Daulat di Parit Batu, Sultan di Pagar Ruyung, Yamtuan di Rawa, Sangkar adat dari dalam Rawa”.
Petikan dari Catatan Yang Disimpan olehAlmarhum Raja Bot ibni Raja Amirullah
Silsilah Jang DiPertoean Pagaroejoeng
Almarhum Radja Bogomo, Jang DiPertoean Pagaroejoeng; Almarhum Raja Bot ibni Raja Amirullah